Keluhan yang satu ini sering dialami wanita, terutama yang suka bekerja berat. Sayang, penanganannya sering salah kaprah.
“Aduh, perut bagian bawahku sakit banget, nih. Kemarin kebanyakan menggendong, sih,” begitu keluh seorang ibu. “Nah, lo, jangan-jangan peranakanmu turun, sana cepat pijat!” saran temannya.
“Peranakan/rahim turun” atau “turun berok” yang dikenal di masyarakat, menurut dr. Suharjanti Kramadibrata, Sp.OG, dalam istilah medisnya dinamakan prolapsus uteri. Keluhan ini memang sering dikaitkan dengan beban fisik yang harus ditanggung si ibu, entah lantaran sedang hamil, sering menggendong anak, hobi naik-turun tangga atau sehari-hari harus bekerja berat. Generalisasi semacam ini memang tak berlebihan, sebab semua aktivitas tadi memang akan meningkatkan tekanan di dalam rongga perut, termasuk menekan rahim hingga terdorong keluar dari posisinya.
Kendati sebenarnya, seberapa besar seseorang berpeluang mengalami rahim turun sangat tergantung kondisi fisik yang bersangkutan, terutama kuat-tidaknya kondisi ligamen penyangga rahim. Artinya, terang spesialis kebidanan yang berpraktek di RSIA Hermina, Jatinegara, Jakarta ini, “Kalau semua jaringan yang menyangga rahim cukup kuat, mau naik-turun tangga 100 kali sehari pun enggak masalah.”
Jadi, tak usah kelewat khawatir, ya, Bu, rahim kita bakal melorot turun hanya gara-gara melakukan aktivitas sehari-hari seperti berjalan kaki dan naik-turun tangga. Lain hal bila wanita yang bersangkutan memang memiliki sifat bawaan. Dalam arti, otot-otot tubuhnya, termasuk otot-otot dasar panggulnya, cenderung lemah dan cepat kendur. Pada mereka yang memiliki sifat bawaan seperti ini, meski baru sekali melahirkan atau malah masih gadis pun, bisa saja mengalami “turun berok” kendati tak melakukan aktivitas fisik yang berat-berat. Dengan begitu, bilang Suharjanti, jangan kelewat gampang menuduh yang bukan-bukan bila seorang gadis mengalami keluhan “turun berok”. Soalnya, siapa tahu ia termasuk wanita yang memiliki bawaan seperti itu.
TAK BISA “LARI”
Sebetulnya, jelas Suharjanti pula, letak rahim tidaklah melekat pasti di satu tempat tertentu secara kaku. Melainkan dalam posisi bergoyang menggantung secara fleksibel. Kendati posisinya menggantung, toh, kita juga tak perlu khawatir rahim akan “lari” ke mana-mana lantaran ada beberapa ligamen yang bertugas “memegang” rahim agar tetap diam di tempatnya dalam rongga perut. Ligamen-ligamen yang bertugas menahan rahim tersebut di antaranya adalah ligamentum latum, ligamentum rotundum, ligamentum sakrouterina dan ligamentum kardinale.
Ligamentum latum, misal, banyak berisi pembuluh darah dan pembuluh getah bening. Pada keadaan tertentu seperti endometriosis, ligamen inilah yang bekerja keras agar rahim tetap bergantung dan tak memperbesar peluang terjadinya prolapsus uteri. Sedangkan ligamentum rotundum terdiri dari otot-otot polos dan cukup lentur di bagian kanan-kirinya, hingga dapat meregang bila rahim terdorong ke atas atau ke bawah saat kandung kemih penuh maupun sewaktu dalam keadaan hamil. Sementara ligamentum sakrouterina dan ligamentum kardinale terdiri dari jaringan ikat dan merupakan ligamen yang sangat kuat. Ligamentum kardinale terbentang dari leher rahim bagian lateral/samping sampai ke dinding panggul. Sedangkan ligamentum sakrouterina terbentang dari leher rahim ke dinding belakang sampai tulang belakang panggul/sakrum.
Dalam keadaan normal, kekuatan ligamen-ligamen yang bertugas menyangga rahim tadi sebetulnya tak perlu diragukan. Apalagi ada fasia atau membran kuat yang melingkari vagina, rektum, dan kandung kencing; selain ada otot-otot dasar panggul yang cukup kokoh.
GAMPANG NGOMPOL
Meski angka kejadiannya cukup jarang, gangguan prolapsus uteri ini sering dikeluhkan oleh mereka yang sering melahirkan alias banyak anak atau grande multipara, yakni melahirkan lebih dari empat kali. Kondisi ini bisa dimengerti karena kehamilan merupakan beban tersendiri buat tubuh.
Sementara normalnya organ-organ kewanitaan/alat-alat reproduksi baru akan pulih kembali setelah 3 bulan persalinan. Itu sebab, selain kerap melahirkan, jarak persalinan yang terlalu dekat pun bisa menjadi faktor pemicu terjadi prolapsus uteri. “Meski enggak berbakat, tapi kalau belum ada setahun sudah hamil lagi dan hamil lagi secara berulang, ya bisa jebol, dong,” seloroh Suharjanti pula.
Ada pun gejala-gejala yang perlu diwaspadai di antaranya beser atau sering kencing tapi dalam jumlah sedikit-sedikit akibat kandung kemih yang ikut tertarik turun, hingga posisinya terjepit dan daya tampungnya jadi amat terbatas. Meski kelihatannya sepele, keluhan semacam ini dirasa menyebalkan dan pasti mengganggu aktivitas sehari-hari. Belum lagi bila yang bersangkutan jadi tak bisa menahan kencing, hingga gampang mengompol. Bukan itu saja, posisinya yang terjepit ini adakalanya mengakibatkan dinding rektum menonjol keluar ke vagina. Akibatnya, tiap kali BAK maupun BAB, ia akan makin menonjol lagi, hingga mengakibatkan kembali nyeri kala dicoba ditekan masuk. Akibatnya, ibu pun jadi malas BAK atau BAB.
Disamping keluhan seputar BAK, yang bersangkutan umumnya juga akan merasakan sakit luar biasa, terutama pada pinggang dan perut bagian bawah. Untuk mengurangi rasa sakit yang menekan, tak jarang orang memilih pijat sebagai terapi. “Boleh-boleh saja, meski efeknya hanya bersifat sementara. Soalnya, kalau memang sudah kendor, mana bisa, sih, dinaikkan hanya dengan memijat atau mendorongnya ke atas? Paling-paling enggak lama kemudian melorot lagi.” Demikian juga stagen atau penahan perut bisa saja digunakan. Kendati tak bisa diharapkan mampu mengembalikan kelenturan otot-otot dan jaringan penyangga, paling tidak bisa sedikit tertahan agar tak semakin parah keluhan prolapsus-nya.
HINDARI FAKTOR PENCETUS
Berdasarkan tingkat keparahannya, prolapsus uteri dibedakan menjadi empat. Yang pertama dan paling ringan adalah leher rahim turun sampai kira-kira mencapai pertengahan vagina. Pada tahap ini penderita sudah merasa ada sesuatu yang mengganjal di selangkangan/perut bagian bawah, hingga untuk melangkah pun kerap terasa berat. Belum lagi keluhan sakit pinggang dan panggul. Akan tetapi dengan istirahat atau berbaring sejenak biasanya keluhan tersebut akan berkurang atau bahkan hilang.
Sedangkan pada tahap dua, rahim umumnya sudah berada di antara pertengahan vagina dan liang vagina. Sementara di tahap ketiga, uteri sudah mencapai liang vagina. Bahkan pada tahap yang paling parah rahim sudah benar-benar keluar dan bisa terlihat dari luar!
Sayangnya, lanjut Suharjanti, tak bisa dipastikan berapa lama seorang penderitaprolapsus uteri berada pada tahap tertentu dan berapa lama pula perkiraan tenggang waktu antara tahap yang satu dengan yang lain. “Sifatnya kasuistik dan sangat tergantung dari kondisi yang bersangkutan serta derajat faktor pemicunya.”
Mereka yang otot-otot penyangga rahimnya sudah lemah, saran Suharjanti, sedapat mungkin harus menghindari faktor pemicu/penyebab, seperti mengangkat beban berat, termasuk menggendong, body building atau banyak ngeden. Usahakan pula agar tak terserang batuk kronis karena batuk yang terus-menerus, apalagi bersifat menahun hanya membuat tekanan dalam rongga perut meningkat hingga rahim makin terdorong
Hal lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah melatih otot-otot dasar panggul agar terpelihara kekuatan dan kelenturannya lewat senam. Di antaranya senam nifas yang belakangan dirasa amat perlu untuk digalakkan. “Jadi, bukan cuma senam hamil yang penting, lo,” tegas Suharjanti. Sayang, ibu-ibu sering malas melakukan senam nifas ini dengan alasan capek, tak punya waktu atau enggak sempat karena bayinya rewel.
PEMASANGAN CINCIN
Hanya saja segala upaya tersebut cuma berguna bagi mereka yangkeluhannya masih tergolong ringan. Sedangkan untuk yang sudah tergolong parah, tak ada cara lain kecuali operasi pengangkatan rahim yang bisa dilakukan dari vagina tanpa mengutak-atik dinding perut. Untuk tindakan yang satu ini penderita pun tak perlu khawatir karena ujung vaginanya akan ditutup lagi, hingga terlihat rapi dan tak menimbulkan gangguan saat berhubungan seksual.
Sedangkan “penarikan” rahim untuk penderita yang keluhannya masih tergolong ringan namun ingin menempuh cara operasi bisa dilakukan dengan sayatan sedikit di perut. Dengan begitu seluruh rahim tak perlu diangkat, melainkan hanya bagian yang merosot ke vagina.
Akan tetapi mengingat operasi adalah tindakan medis yang cukup riskan dan selalu ada kemungkinan penyulit, baik dari obat maupun tindakan itu sendiri, maka bisa diupayakan cara lain. Juga bagi kasus-kasus pasien yang kondisinya tak memungkinkan menerima pengobatan narkosis/anestesi. Untuk mereka ini, biasanya dokter akan memasangkan sebuah cincin di vaginanya. Cincin yang terbuat dari karet ini memiliki diameter berbeda dan ukurannya tentu disesuaikan “ukuran” vagina penderita dan tingkat keparahan keluhannya. Biasanya semua dokter kebidanan bisa membantu memasangkannya karena tak perlu operasi khusus.
Bahkan untuk aktivitas sehari-hari, dokter akan mengajarkan pada pasien bagaimana cara melepas dan memasangkannya kembali. Langkah ini amat penting mengingat cincin tersebut harus dibersihkan secara berkala. “Namanya juga benda asing. Kalau berada terus-menerus di vagina, setidaknya akan menimbulkan lendir dan iritasi. Bisa-bisa malah memunculkan keluhan lain yang lebih serius. Repot, kan?”
Masalahnya, bilang Suharjanti, pemasangan cincin akan menimbulkan gangguan bila wanita yang bersangkutan masih dalam kondisi fit untuk berintim-intim dengan suaminya. Hingga untuk mereka yang masih membutuhkan hubungan seksual, apalagi dengan frekuensi cukup sering, Suharjanti menganjurkan untuk menempuh jalur operasi saja. Namun umumnya yang terkena keluhan prolapsus uteri ini adalah wanita yang sudah cukup berumur bahkan menopause, hingga tak lagi mengutamakan hubungan seksual.
Nah, Bu, apa pun sebabnya, lebih baik mencegah ketimbang mengobati, kan? Apalagi sampai saat ini tak ada obat-obatan yang bisa dipakai sebagai solusinya.
Tak Berdampak Buruk Bagi Bayi
Bila tengah hamil, terang Suharjanti, mereka yang peranakannya turun sebetulnya tak perlu kelewat mengkhawatirkan janinnya. “Sepanjang ia merawat kehamilannya dengan benar dan memeriksakan diri secara teratur, prolapsus uteri takkan memberi dampak buruk apa pun pada kehamilan.” Hanya saja kehamilan yang memang merupakan beban akan memperparah keluhan peranakan yang memang sudah turun.